SIRAH NABAWIYAH (13)

 on Rabu, 17 Oktober 2012  



Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum

TAHAPAN KEDUA
BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWAH JAHRIYYAH)

Utusan Quraisy menemui Rasulullah


Setelah masuk islamnya dua orang pahlawan yang agung, Hamzah bin ‘Abdul Muththalib dan ‘Umar bin al-Khaththab radhiallaahu 'anhuma, awan kelabu mulai menyelimuti kaum Musyrikun dan barulah tersadar dari mabuk mereka yang selama ini digunakan untuk menyiksa kaum Muslimin. Kali ini, mereka berupaya untuk mencari jalan lain, yaitu mengajukan negosiasi dimana mereka akan memenuhi semua tuntutan yang diinginkan oleh beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam asalkan mau menghentikan dakwahnya. Mereka yang perlu dikasihani itu, tidak mengetahui bahwa setiap apa saja yang dapat disinari oleh matahari tidak memiliki nilai sama sekali walau sebesar nyamuk sekalipun dibandingkan dakwah yang beliau emban. Akhirnya, mereka mengalami kegagalan lagi.

Ibnu Ishâq berkata: “Yazîd bin Ziyâd berkata kepadaku, dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhiy, dia berkata: ‘suatu hari ‘Utbah bin Rabî’ah -yang merupakan seorang kepala suku- berbicara di perkumpulan Quraisy saat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam duduk-duduk seorang diri di masjid:

‘wahai kaum Quraisy! Bagaimana pendapat kamu bila aku menyongsong Muhammad dan berbicara dengannya lalu menawarkan kepadanya beberapa hal yang aku berharap semoga saja sebagiannya dia terima lalu setelah itu kita berikan kepadanya apa yang dia mau sehingga dia tidak lagi mengganggu kita?.

Hal itu dikatakannya ketika Hamzah radhiallaahu 'anhu masuk Islam dan melihat bahwa para shahabat Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam semakin hari semakin banyak dan bertambah, lalu mereka berkata kepadanya:

“Tentu saja bagus, wahai Abu al-Walid! Pergilah menyongsongnya dan berbicaralah dengannya!”.

‘Utbah segera menyongsong beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam dan duduk disampingnya seraya berkata:

“wahai anak saudaraku! Sesungguhnya engkau telah datang kepada orang-orang dengan sesuatu hal yang amat besar sehingga membuat mereka bercerai berai, angan-angan mereka engkau kerdilkan, tuhan-tuhan serta agama mereka engkau cela dan nenek-nenek moyang mereka engkau kafirkan. Dengarlah! Aku ingin menawarkan beberapa hal kepadamu lantas bagaimana pendapatmu tentangnya?. Semoga saja sebagiannya dapat engkau terima”.

“wahai Abu al-Walîd! katakanlah, aku akan mendengarkannya!”, jawab Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam .

“wahai anak saudaraku! Jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan harta, kami akan mengumpulkan harta-harta kami untukmu sehingga engkau menjadi orang yang paling banyak hartanya diantara kami; jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kedudukan, maka kami akan mengangkatmu menjadi tuan kami hingga kami tidak akan melakukan sesuatupun sebelum engkau perintahkan; jika apa yang engkau bawa itu semata hanya menginginkan kerajaan, maka kami akan mengangkatmu menjadi raja; dan jika apa yang datang kepadamu adalah jin yang engkau lihat dan tidak dapat engkau mengusirnya dari dirimu, kami akan memanggilkan tabib untukmu serta akan kami infakkan harta kami demi kesembuhanmu, sebab orang terkadang terkena oleh jin sehingga perlu diobati”, katanya - atau sebagaimana yang dia katakan- hingga akhirnya ‘Utbah selesai dan Rasulullah mendengarkannya.

Lalu beliau berkata: “wahai ‘Utbah! Sudah selesaikah engkau?”.

Dia menjawab: “ya”.

Beliau berkata: “ Nah, sekarang dengarkanlah dariku!”.

Dia menjawab: “ya, akan aku dengar”.

Beliau membacakan firmanNya (surat Fushshilat dari ayat 1-5) artinya :” Hâ mîm [1]. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang [2]. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam Bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui [3]. Yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan [4]. Mereka berkata: ‘hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya..[5]”.

Kemudian Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam melanjutkan bacaannya.

Tatkala ‘Utbah mendengarnya, dia malah diam serta khusyu’ mendengarkan sambil bertumpu diatas kedua tangannya yang diletakkan dibelakang punggungnya hingga beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam selesai dan ketika melewati ayat sajadah, beliau bersujud. Setelah itu, beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “wahai Abu al-Walîd, engkau telah mendengarkan apa yang telah engkau dengar tadi. Sekarang terserah padamu”.

‘Utbah bangkit dan menemui para shahabatnya. Melihat kedatangannya, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain:

“kami bersumpah atas nama Allah! sungguh Abu al-Walid telah datang kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan sewaktu dia pergi tadi”.

Dia pun datang dan duduk bersama mereka. Mereka berkata kepadanya:

“apa yang engkau bawa wahai Abu al-Walîd?”.

“yang aku bawa, bahwa aku telah mendengar suatu perkataan yang -demi Allah- belum pernah sama sekali aku dengar semisalnya. Demi Allah! ia bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula tenung! wahai kaum Quraisy! Patuhilah aku, serahkan urusan itu kepadaku serta biarkanlah orang ini melakukan apa yang dia lakukan. Menjauhlah dari urusannya! Demi Allah! sungguh ucapannya yang telah aku dengar itu akan menjadi berita besar; jika orang-orang Arab dapat mengalahkannya maka kalian telah terlebih dahulu membereskannya tanpa campur tangan orang lain; dan jika dia mengalahkan mereka maka kerajaannya adalah kerajaan kalian juga, keagungannya adalah keagungan kalian juga; maka dengan begitu kalian akan menjadi orang yang paling bahagia”.

Mereka berkata: “demi Allah! dia telah menyihirmu dengan lisannya, wahai Abu al-Walîd”.

“inilah pendapatku terhadapnya, terserah apa yang ingin kalian lakukan”, jawabnya.

Dalam versi riwayat yang lain bahwa ‘Utbah mendengar dengan khusyu’ hingga bacaan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sampai kepada firmanNya (surat Fushshilat, ayat 13): “jika mereka berpaling maka katakanlah: ‘aku telah memperingatkan kamu dengan petir, seperti petir yang menimpa kaum ‘Âd dan kaum Tsamûd”. ketika itu, dia berdiri karena terperanjat dan cepat-cepat menutup mulut Rasulullah dengan tangannya sembari berkata:

“aku minta kepadamu atas nama Allah agar mengingat rahim (hubungan kekeluargaan) diantara kita”.

Hal ini dilakukannya karena takut peringatan tersebut menimpanya. Setelah itu, dia bangkit menemui para shahabatnya dan mengatakan apa yang dia telah katakan (seperti diatas-red).

Para Petinggi Quraisy ingin berunding dengan Rasulullah sementara Abu Jahal ingin menghabisinya

Harapan Quraisy untuk berunding tidak terhenti dengan jawaban dari beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam karena jawaban tersebut tidak secara terus terang menolak atau menerima. Untuk itu, mereka berurun rembug lalu berkumpul di depan ka’bah setelah terbenamnya matahari. Mereka mengirim utusan untuk menemui Rasulullah dan mengajaknya bertemu disana. Tatkala beliau datang ke sana, mereka kembali mengajukan tuntutan yang sama seperti yang diajukan oleh ‘Utbah. Disini beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa melakukan hal itu sebab beliau sebagai Rasul, hanyalah menyampaikan risalah Rabbnya; jika mereka menerima maka mereka akan beruntung dunia dan akhirat dan jika tidak, beliau akan bersabar hingga Allah Yang akan memutuskannya.

Mereka meminta beliau untuk membuktikan dengan beberapa tanda, diantaranya; agar beliau memohon kepada Rabbnya membuat gunung-gunung bergeser dari mereka, membentangkan negeri-negeri buat mereka, mengalirkan sungai-sungai serta menghidupkan orang-orang yang telah mati hingga mereka mau mempercayainya. Namun beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam menjawabnya seperti jawaban sebelumnya.

Mereka juga meminta beliau agar memohon kepada Rabbnya untuk mengutus seorang raja yang mereka percayai dan menyediakan taman-taman, harta terpendam serta istana yang terbuat dari emas dan perak untuknya namun beliau tetap menjawab seperti jawaban sebelumnya.

Bahkan mereka meminta beliau agar Rabb mendatangkan azab, yaitu menjatuhkan langit atas mereka menjadi berkeping-keping. Beliau menjawab:

“hal itu semua merupakan kehendak Allah; jika Dia berkehendak maka Dia akan menjatuhkannya”.

Menanggapi jawaban itu mereka malah menantang dan mengancam beliau. Akhirnya beliau pulang dengan hati yang teriris sedih.

Tatkala Rasulullah berlalu, Abu Jahal dengan sombongnya berkata kepada kaum Quraisy:

“wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya Muhammad sebagaimana yang telah kalian saksikan, hanya ingin mencela agama dan nenek moyang kita, membuyarkan angan-angan serta mencaci tuhan-tuhan kita. Sungguh aku berjanji atas nama Allah untuk duduk didekatnya dengan membawa batu besar yang mampu aku angkat dan akan aku hempaskan ke kepalanya saat dia sedang sujud dalam shalatnya. Maka saat itu, kalian hanya memiliki dua pilihan; membiarkanku atau mencegahku. Dan setelah hal itu terjadi, maka Banu ‘Abdi Muththalib bisa berbuat apa saja yang mereka mau”.

Mereka menjawab: “demi Allah! kami tidak akan pernah membiarkanmu untuk melakukan sesuatupun. Pergilah kemana yang engkau mau”.

Ketika paginya, Abu Jahal rupanya benar-benar mengambil batu besar sebagaimana yang dia katakan, kemudian duduk sambil menunggu kedatangan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Rasulullah pun datang dan melakukan seperti yang biasa beliau lakukan. Beliau berdiri lalu melakukan shalat sedangkan kaum Quraisy juga sudah datang dan duduk di perkumpulan mereka sembari menunggu apa yang akan dilakukan oleh Abu Jahal. Manakala Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam sedang sujud, Abu Jahal pun mengangkat batu tersebut kemudian berjalan menuju ke arah beliau hingga jaraknya sangat dekat sekali akan tetapi anehnya dia justru berbalik mundur, merasa ciut, wajahnya pasi dan dirundung ketakutan. Kedua tangannya sudah tidak mampu lagi menahan beratnya batu hingga dia melemparnya. Menyaksikan kejadian itu, para pemuka Quraisy segera menyongsongnya sembari bertanya:

“ada apa denganmu wahai Abu al-Hakam?”.

“aku sudah berdiri menuju ke arahnya untuk melakukan apa yang telah kukatakan semalam, namun ketika aku mendekatinya seakan ada onta jantan yang menghalangiku. Demi Allah! aku tidak pernah sama sekali melihat sesuatu yang menakutkan seperti rupanya, juga seperti punuk ataupun taringnya. Binatang itu ingin memangsaku”, Katanya.

Ibnu Ishaq berkata: “disebutkan kepadaku bahwa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: ‘itu adalah Jibril 'alaihissalaam ; andai dia (Abu Jahal-red) mendekat pasti akan disambarnya”.

Negosiasi dan Kompromi

Manakala kaum Quraisy gagal berunding dengan cara merayu, mengiming-iming serta mengultimatum, demikian juga, Abu Jahal gagal melampiaskan kedunguan dan niat jahatnya untuk menghabisi beliau; mereka seakan tersadar untuk merealisasikan keinginan lainnya dengan cara mencapai jalan tengah yang kiranya dapat menyelamatkan mereka. Mereka sebenarnya, tidak menyatakan secara tegas bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam berjalan diatas kebathilan akan tetapi kondisi mereka hanyalah –sebagaimana disifatkan dalam firmanNya- “sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap al-Qur’an” (Q.S.11/Hûd: 110). Karenanya mereka melihat perlunya mengupayakan negosiasi dengan beliau dalam masalah agama. Di pertengahan jalan, mereka bertemu dengan beliau dengan menyatakan bahwa mereka akan meninggalkan sebagian urusan agama yang pernah mereka lakukan, lalu mereka juga menuntut Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam melakukan hal yang sama. Mereka mengira bahwa dengan cara kali ini mereka akan melakukan hal yang benar, jika memang apa yang diajak oleh Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam itu adalah benar.

Ibnu Ishaq meriwayatkan dengan sanadnya, dia berkata: “al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, al-Walîd bin al-Mughîrah, Umayyah bin Khalaf serta al-‘Âsh bin Wâil as-Sahmiy (mereka ini merupakan orang-orang berpengaruh di tengah kaum mereka) menghadang Rasulullah yang tengah melakukan thawaf di Ka’bah sembari berkata:

“wahai Muhammad! mari kami menyembah apa yang engkau sembah dan engkau juga menyembah apa yang kami sembah sehingga kami dan engkau dapat berkongsi dalam menjalankan urusan ini; jika yang engkau sembah itu lebih baik dari apa yang kami sembah, maka berarti kami telah mengambil bagian kami darinya, demikian pula jika apa yang kami sembah lebih baik dari apa yang engkau sembah, maka berarti engkau telah mendapatkan bagianmu darinya”. Lalu Allah menurunkan tentang mereka surat al-Kâfirûn semuanya.

‘Abd bin Humaid dan selainnya dari Ibnu ‘Abbâs bahwasanya orang-orang Quraisy berkata:”andaikata engkau usap tuhan-tuhan kami, niscaya kami akan menyembah tuhanmu”. Lalu turunlah surat al-Kâfirûn semuanya.

Ibnu Jarîr dan selainnya mengeluarkan darinya juga (Ibnu ‘Abbâs-red) bahwasanya orang-orang Quraisy berkata kepada Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam : “engkau menyembah tuhan kami selama setahun dan kami menyembah tuhanmu selama setahun juga”. Lalu Allah Ta’ala menurunkan firmanNya: “Katakanlah: ‘maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah, hai orang-orang yang tidak berpengetahuan?’ “. (Q.S.39/az-Zumar: 64)

Manakala Allah Ta’ala telah memberikan putusan final terhadap perundingan yang menggelikan tersebut dengan pembandingan yang tegas, orang-orang Quraisy tidak berputus asa dan berhenti hingga disitu bahkan semakin mengendurkan daya kompromi mereka asalkan Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mau mengadakan beberapa evaluasi terhadap petunjuk-petunjuk yang dibawanya dari Allah, mereka berkata (dalam firmanNya) : “datangkanlah al-Qur’an yang lain dari ini atau gantilah dia”. (Q.S.10/Yunus: 15). Lantas Allah Ta’ala juga memotong cara seperti ini dengan menurunkan ayat berikutnya sebagai bantahan Nabi terhadap mereka, beliau berkata (dalam firmanNya):”katakanlah: ‘tidaklah tidak patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)”. (Q.S.10/Yunus: 15).

Allah Ta’ala juga mengingatkan akan besarnya bahaya melakukan hal tersebut, dengan firmanNya: “Dan sesungguhnya mereka hampir mamalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.[73]. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.[74]. kalau terjadi demikian, benar-benarlah, Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami[75]”. (Q.S. 17/al-Isra’: 73-75).

Kaum Quraisy bingung dan berpikir keras serta upaya mereka menghubungi orang-orang Yahudi

Setelah semua perundingan, negosiasi dan kompromi yang diajukan oleh kaum Musyrikun mengalami kegagalan, jalan-jalan yang ada dihadapan mereka seakan gelap gulita. Mereka bingung apa yang harus dilakukan hingga salah seorang dari syaithan mereka berdiri tegak, yaitu an-Nadlar bin al-Hârits sembari menasehati mereka: “wahai kaum Quraisy! Demi Allah! sungguh urusan yang kalian hadapi saat ini tidak ada lagi jalan keluarnya. Ketika masih kecilnya, Muhammad adalah orang yang paling kalian ridlai, paling kalian benarkan ucapannya, paling kalian agungkan amanatnya hingga akhirnya sekarang kalian melihat uban tumbuh di kedua alisnya dan membawa apa yang dibawanya kepada kalian. Kalian pernah mengatakan bahwa dia adalah tukang sihir. Demi Allah! “Dia bukanlah seorang Tukang sihir. Kita telah melihat para tukang sihir dan jenis-jenis sihir mereka sedangkan yang dikatakannya bukanlah jenis nafts (hembusan) ataupun ‘uqad (buhul-buhul) mereka. Lalu kalian katakan dia adalah seorang dukun. Demi Allah! dia bukanlah seorang dukun. Kita telah melihat bagaimana kondisi para dukun sedangkan yang dikatakannya bukan seperti komat-kamit ataupun sajak (mantera-mantera) para dukun. Lalu kalian katakan lagi bahwa dia adalah seorang penyair. Demi Allah! “Dia bukan seorang Penya’ir. Kita telah mengenal semua bentuk sya’ir; rajaz, hazaj, qaridh, maqbudh dan mabsuth-nya sedangkan yang dikatakannya bukanlah sya’ir. Lalu kalian katakan bahwa dia adalah seorang yang gila. Demi Allah! dia bukan seorang yang gila. Kita telah mengetahui esensi gila dan telah mengenalnya sedangkan yang dikatakannya bukan dalam kategori ketercekikan, kerasukan ataupun was-was sebagaimana kondisi kegilaan tersebut. wahai kaum Quraisy! Perhatikanlah urusan kalian, demi Allah! sesungguhnya kalian telah menghadapi masalah yang besar”.

Ketika itulah kaum Quraisy memutuskan untuk menghubungi orang-orang Yahudi sambil memastikan kelanjutan dari perihal Muhammad Shallallâhu 'alaihi wasallam. Maka mereka tunjuklah an-Nadlar bin al-Hârits untuk pergi menemui orang-orang Yahudi di Madinah bersama dua orang lainnya. Ketika mereka tiba di tempat mereka, para pemuka agama Yahudi (Ahbâr) berkata kepada mereka:

“Tanyakan kepadanya (Muhammad-red) tiga hal, jika dia memberitahukannya maka dialah Nabi yang diutus itu, dan jika tidak maka dia hanyalah orang yang ngelantur bicaranya. Yaitu, tanyakan kepadanya tentang sekolompok pemuda yang sudah meninggal pada masa lampau pertama, bagaimana kisah mereka? Karena sesungguhnya cerita tentang mereka amatlah mengagumkan. Juga tanyakan kepadanya tentang seorang laki-laki pengelana yang menjelajahi dunia hingga ke belahan timur bumi dan belahan baratnya, bagaimana kisahnya?. Terakhir, tanyakan kepadanya tentang apa itu ruh?”.

Setibanya di Mekkah, an-Nadlar bin al-Hârits berkata: “kami datang kepada kalian berkat apa yang terjadi antara kami dan Muhammad”. Lalu dia memberitahukan mereka perihal apa yang dikatakan oleh orang-orang Yahudi. Setelah itu, orang-orang Quraisy bertanya kepada Rasulullah tentang tiga hal tersebut, maka setelah beberapa hari turunlah surat al-Kahfi yang didalamnya terdapat kisah sekelompok pemuda tersebut, yakni Ashhâbul Kahfi dan kisah seorang laki-laki pengelana, yakni Dzul Qarnain. Demikian pula, turunlah jawaban tentang ruh dalam surat al-Isra’. Ketika itu, jelaslah bagi kaum Quraisy bahwa beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam berada dalam kebenaran namun orang-orang yang zhalim tidak berkenan selain terhadap kekufuran.

Sikap Abu Thalib dan Keluarganya

Demikianlah tindakan kaum Musyrikun secara umum, sedangkan Abu Thalib secara khusus menghadapi tuntutan kaum Quraisy agar menyerahkan Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam kepada mereka untuk dibunuh. Abu Thalib mengamati gerak-gerik dan ` kasak-kusuk mereka dan mencium keinginan kuat mereka untuk benar-benar menghabisi beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam sebagaimana yang dilakukan oleh ‘Uqbah bin Abi Mu’ith, ‘Umar bin al-Khaththab (sebelum Islam-red) dan Abu Jahal. Akhirnya, dia mengumpulkan seluruh keluarga Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib dan menghimbau mereka agar menjaga Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam . Mereka semua memenuhi imbauan itu, baik yang sudah masuk Islam maupun yang masih kafir sebagai bentuk fanatisme Arab. Mereka berikrar dan mengikat janji di Ka’bah selain saudaranya, Abu Lahab yang memilih untuk menentang mereka dan berada di pihak kaum Quraisy.


   
SIRAH NABAWIYAH (13) 4.5 5 Semangat Belajar Rabu, 17 Oktober 2012 Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum TAHAPAN KEDUA BERDAKWAH SECARA TERANG-TERANGAN (DAKWA...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © Semangat Belajar. All Rights Reserved.Theme by CB Design