Syaikh Shafiyyur-Rahman Al-Mubarakfury
Sumber : Kitab Ar-Rahiqul Makhtum
PEMBOIKOTAN MENYELURUH
Perjanjian yang zhalim dan melampaui batas
Setelah segala cara sudah ditempuh dan tidak membuahkan hasil juga, kepanikan kaum musyrikin mencapai puncaknya, ditambah lagi mereka mengetahui bahwa Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Muththalib berkeras akan menjaga Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam dan membelanya mati-matian apapun resikonya.
Karena itu, mereka berkumpul di kediaman Bani Kinanah yang terletak di lembah al-Mahshib dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk dibunuh. Mereka mendokumentasikan hal tersebut, diatas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah “bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka kecuali bila mereka menyerahkan beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam untuk dibunuh”.
Ibnu al-Qayyim berkata: “Ada yang mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh Manshûr bin ‘Ikrimah bin ‘Âmir bin Hâsyim. Ada lagi yang mengatakan bahwa pernyataan itu ditulis oleh Nadlr bin al-Hârits. Yang benar, bahwa yang menulisnya adalah Baghîdl bin ‘Âmir bin Hâsyim, lalu Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam berdoa atasnya (dengan doa yang buruk) dan dia pun mengalami kelumpuhan ditangannya sebagaimana doa beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam .
Perjanjian itu pun dilaksanakan dan digantungkan di rongga Ka’bah namun Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib semuanya, baik yang masih kafir maupun yang sudah beriman selain Abu Lahab tetap berpihak untuk membela Rasulullah. Mereka akhirnya tertahan di kediaman Abu Thalib pada malam bulan Muharram tahun ke-7 dari bi’tsah (diutusnya beliau sebagai Rasul) sedangkan riwayat yang lain menyebutkan selain tanggal tersebut.
Tiga Tahun di Kediaman Abu Thalib
Pemboikotan semakin diperketat sehingga makanan dan stock pun habis, sementara kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekkah atau dijual kecuali mereka segera memborongnya. Tindakan ini membuat kondisi Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib semakin kepayahan dan memprihatinkan sehingga mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit. Selain itu, jeritan kaum wanita dan tangis bayi-bayi yang mengerang kelaparan pun terdengar di balik kediaman tersebut.
Tidak ada yang sampai ke tangan mereka kecuali secara sembunyi-sembunyi, dan merekapun tidak keluar rumah untuk membeli keperluan keseharian kecuali pada al-Asyhur al-Hurum (bulan-bulan yang diharamkan berperang). Mereka membelinya dari rombongan yang datang dari luar Mekkah akan tetapi penduduk Mekkah menaikkan harga barang-barang kepada mereka beberapa kali lipat agar mereka tidak mampu membelinya.
Hakîm bin Hizâm pernah membawa gandum untuk diberikan kepada bibinya, Khadîjah radhiallaahu 'anha namun suatu ketika dia dihadang oleh Abu Jahal dan diinterogasi olehnya guna mencegah upayanya. Untung saja, ada Abu al-Bukhturiy yang menengahi dan membiarkannya lolos membawa gandum tersebut kepada bibinya.
Dilain pihak, Abu Thalib merasa khawatir atas keselamatan Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Untuk itu, dia biasanya memerintahkan beliau untuk baring di tempat tidurnya bila orang-orang beranjak ke tempat tidur mereka. Hal ini agar memudahkannya untuk mengetahui siapa yang hendak membunuh beliau. Dan manakala orang-orang sudah benar-benar tidur, dia memerintahkan salah satu dari putera-putera, saudara-saudara atau keponakan-keponakannya untuk tidur di tempat tidur Rasulullah sementara beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam diperintahkan untuk tidur di tempat tidur mereka.
Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam dan kaum muslimin keluar pada musim haji, menjumpai manusia dan mengajak mereka kepada Islam sebagaimana yang telah kami singgung dalam pembahasan lalu tentang perlakuan Abu Lahab terhadap mereka.
Pembatalan Terhadap Shahifah Perjanjian
Pemboikotan tersebut berlangsung selama dua atau tiga tahun penuh. Barulah pada bulan Muharram tahun ke-10 dari kenabian terjadi pembatalan terhadap shahifah dan perobekan perjanjian tersebut. Hal ini dilakukan karena tidak semua kaum Quraisy menyetujui perjanjian tersebut, diantara mereka ada yang pro dan ada yang kontra, maka pihak yang kontra ini akhirnya berusaha untuk membatalkan shahifah tersebut.
Diantara tokoh yang melakukan itu adalah Hisyâm bin ‘Amru dari suku Bani ‘Âmir bin Lu-ay – yang secara tersembunyi pada malam hari mengadakan kontak dengan Bani Hâsyim dan menyuplai bahan makanan -. Tokoh ini pergi menghadap Zuhair bin Abi Umayyah al-Makhzûmiy (ibunya bernama ‘Âtikah binti ‘Abdul Muththalib), dia berkata kepadanya:
“Wahai Zuhair! Apakah engkau tega dapat menikmati makan dan minum sementara saudara-saudara dari pihak ibumu kondisi mereka seperti yang engkau ketahui saat ini?”
“celakalah engkau! Apa yang dapat aku perbuat bila hanya seorang diri?. Sungguh, demi Allah! andaikata bersamaku seorang lagi niscaya aku robek shahifah perjanjian tersebut”, jawabnya
“engkau sudah mendapatkannya!”, kata Hisyâm“siapa dia?”, tanyanya
“aku”, kata Hisyâm
“kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga”, jawabnya.
Lalu Hisyâm pergi menuju kediaman al-Muth’im bin ‘Adiy. Dia menyinggung tali rahim yang terjadi antara Bani Hâsyim dan Bani al-Muththalib, dua orang putra ‘Abdi Manaf dan mencela persetujuannya atas tindakan zhalim kaum Quraisy.
Al-Muth’im berkata: “celakalah engkau! Apa yang bisa aku lakukan padahal aku hanya seorang diri?”.
Dia berkata: “engkau sudah mendapatkan orang keduanya”.
Dia bertanya: “siapa dia?”
“aku”, jawabnya
“kalau begitu, carikan bagi kita orang ketiga”, pintanya lagi
“sudah aku dapatkan orangnya”, jawabnya
“siapa dia?”, tanyanya
“Zuhair bin Abi Umayyah”, jawabnya
“kalau begitu, carikan bagi kita orang keempat”, pintanya lagi
Lalu dia pergi lagi menuju kediaman Abu al-Bukhturiy bin Hisyâm dan mengatakan kepadanya persis seperti apa yang telah dikatakannya kepada al-Muth’im. Dia bertanya kepada Hisyâm: “apakah ada orang yang membantu kita dalam hal ini?”
“Ya”, jawabnya
“siapa dia?”, tanyanya
“Zuhair bin Abi Umayyah, al-Muth’im bin ‘Adiy. Aku juga akan bersamamu”, jawabnya
“kalau begitu, carikan lagi bagi kita orang kelima”, pintanya.
Kemudian dia pergi lagi menuju kediaman Zam’ah bin al-Aswad bin al-Muththalib bin Asad. Dia berbincang dengannya lalu menyinggung perihal kekerabatan yang ada diantara mereka dan hak-hak mereka. Zam’ah bertanya kepadanya: “apakah ada orang yang ikut serta dalam urusan yang engkau ajak diriku ini?”
“ya”, jawabnya. Kemudian dia menyebutkan nama-nama orang yang ikut serta tersebut. Akhirnya mereka berkumpul di pintu Hujûn dan berjanji akan melakukan pembatalan terhadap shahifah. Zuhair berkata: “Akulah yang akan memulai dan orang pertama yang akan berbicara”.
Ketika paginya, mereka pergi ke tempat perkumpulan. Zuhair datang dengan mengenakan pakaian kebesaran lalu mengelilingi ka’bah tujuh kali kemudian menghadap ke khalayak seraya berkata:
“Wahai penduduk Mekkah! Apakah kita tega bisa menikmati makanan dan memakai pakaian sementara Bani Hasyim binasa; tidak ada yang sudi menjual kepada mereka dan tidak ada yang membeli dari mereka? Demi Allah! aku tidak akan duduk hingga shahifah yang telah memutuskan rahim dan zhalim ini dirobek!”.
Abu Jahal yang berada di pojok masjid menyahut: “Demi Allah! engkau telah berbohong! Jangan lakukan itu!”.
Lalu Zam’ah bin al-Aswad memotongnya:”demi Allah! justru engkaulah yang paling pembohong! Kami tidak pernah rela menulisnya ketika ditulis waktu itu”.
Setelah itu, Abu al-Bukhturiy menimpali: “Benar apa yang dikatakan Zam’ah ini, kami tidak pernah rela terhadap apa yang telah ditulis dan tidak pernah menyetujuinya”.
Berikutnya, giliran al-Muth’im yang menambahkan: “mereka berdua ini memang benar dan sungguh orang yang mengatakan selain itulah yang berbohong. Kami berlepas diri kepada Allah dari shahifah tersebut dan apa yang ditulis didalamnya”.
Hal ini juga diikuti oleh Hisyam bin ‘Amru yang menimpali seperti itu pula.
Abu Jahal kemudian berkata dengan kesal:”urusan ini telah diputuskan di tempat selain ini pada malam dimusyawarahkannya saat itu!”.
Saat itu Abu Thalib tengah duduk di sudut al-Masjid al-Haram. Dia datang atas pemberitahuan keponakannya, Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam yang telah diberitahu oleh Allah perihal shahifah tersebut bahwa Dia Ta’ala telah mengirim rayap-rayap untuk memakan semua tulisan yang berisi pemutusan rahim dan kezhaliman tersebut kecuali tulisan yang ada nama Allah Ta’ala di dalamnya.
Abu Thâlib datang kepada kaum Quraisy dan memberitahukan kepada mereka tentang apa yang telah diberitahukan oleh keponakanya kepadanya. Dia menyatakan: “ini untuk membuktikan apakah dia berbohong sehingga kami akan membiarkan kalian untuk menyelesaikan urusan dengannya, demikian pula sebaliknya, jika dia benar maka kalian harus membatalkan pemutusan rahim dan kezhaliman terhadap kami”.
Mereka berkata kepadanya: “kalau begitu, engkau telah berlaku adil”.
Setelah terjadi pembicaraan panjang antara mereka dan Abu Jahal, berdirilah al-Muth’im menuju shahifah untuk merobeknya. Ternyata dia menemukan rayap-rayap telah memakannya kecuali tulisan “bismikallâh” (dengan namaMu ya Allah) dan tulisan yang ada nama Allah di dalamnya dimana rayap-rayap tersebut tidak memakannya.
Lalu dia membatalkan shahifah tersebut sehingga Rasulullah bersama orang-orang yang ada di kediaman Abu Thalib dapat leluasa keluar. Sungguh, kaum musyrikun telah melihat tanda yang agung sebagai bagian dari tanda-tanda kenabian beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam, akan tetapi mereka tetaplah sebagai yang difirmankan oleh Allah: “Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat sesuatu tanda (mu'jizat), mereka berpaling dan berkata:"(Ini adalah) sihir yang terus menerus". (Q.S. 54/al-Qamar:2). Mereka telah berpaling dari tanda ini dan bertambahlah mereka dari kekufuran ke kekufuran yang lebih lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar